Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) merupakan organisasi kemahasiswaan yang didirikan oleh kaum muda
Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya pada tanggal 17 April 1960 silam. Agar
PMII tidak menjadi organisasi “papan nama”, maka di usianya yang kian
menua ini, kader-kader PMII dituntut untuk melakukan refleksi
organisasi.
Tanpa bermaksud
meminggirkan “prestasi” yang telah diukir PMII sejak awal pendiriannya,
selama sepuluh tahun terakhir ini, PMII justru terkesan gagap dalam
membaca dan menyikapi realitas bangsa yang dipenuhi dengan banyak
persoalan. Kegagapan PMII dalam menyikapi persoalan-persoalan strategis
bangsa, pada akhirnya membawa PMII ke pinggir sejarah. Kegagapan PMII
dalam menyikapi persoalan-persoalan bangsa jelas bertolak-belakang
dengan paradigma kritis yang selama ini digembar-gemborkan sebagai pisau
bedah PMII. Di tangan PMII, paradigma kritis seperti pisau tumpul yang
untuk mengupas buah-buahan saja tidak bisa. Padahal, di dalam paradigma
kritis tersimpan energi gerakan yang jika dimanfaatkan dengan baik akan
menghasilkan perubahan luar biasa. Energi yang dimaksud adalah
keberpihakan paradigma kritis terhadap kaum yang tidak beruntung.
Pembicaraan
tentang mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam
berbagai kesempatan pada hampir semua kalangan masyarakat. Begitu
banyaknya forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula
berbagai tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang
hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan
politik kontemporer di Indonesia. Terutama dalam konteks kepeduliannya
dalam merespon masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan
berkembang di tengah masyarakat. Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan
mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya
depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya
praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan
terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran
gerakan mahasiswa sebagai perpanjangan aspirasi rakyat dalam situasi
yang demikian itu memang sangat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan
kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi
pada penguasa. Secara umum, advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada
upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas
konflik yang terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam memainkan peran
yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak mengacu pada
panggilan nurani atas kepeduliannya yang mendalam terhadap lingkungannya
serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas
hidup bangsanya. Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang
dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka
melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa
yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya
dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup
rakyatnya.
Oleh sebab itu,
peranannya menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah
masyarakat. Karena begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa
pada kebanyakan negara di dunia telah mencatat bahwa perubahan sosial
(social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori
oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.Alasan utama mengapa
menempatkan gerakan mahasiswa dalam tulisan ini adalah tidak lain karena
peran gerakan mahasiswa tersebut sebagai pelopor dan penggerak dalam
membela rakyat dari berbagai tirani dan segala bentuk ketimpangan yang
terjadi di Indonesia.
Mahasiswa
dan gerakannya yang senantiasa mengusung panji-panji keadilan,
kejujuran, selalu hadir dengan ketegasan dan keberanian. Walaupun memang
tak bisa dipungkiri, faktor pemihakan terhadap ideologi tertentu turut
pula mewarnai aktifitas politik mahasiswa yang telah memberikan
kontribusinya yang tak kalah besar dari kekuatan politik lainnya.
Mahasiswa yang merupakan sosok pertengahan dalam masyarakat yang masih
idealis namun pada realitasnya terkadang harus keluar dari idealitasnya.
Pemihakan terhadap ideologi tertentu dalam gerakan mahasiswa memang tak
bisa dihindari. Pasalnya, pada diri mahasiswa terdapat sifat-sifat
intelektualitas dalam berpikir dan bertanya, segala sesuatunya secara
kritis dan merdeka serta berani menyatakan kebenaran apa adanya. Sebuah
konsep yang cukup ideal bagi sebuah pergerakan mahasiswa walau tak
jarang pemihakan-pemihakan tersebut tidak pada tempatnya.Pada mahasiswa
kita mendapatkan potensi-potensi yang dapat dikualifikasikan sebagai
modernizing agents. Praduga bahwa dalam kalangan mahasiswa kita
semata-mata menemukan transforman sosial berupa label-label penuh
amarah, sebenarnya harus diimbangi pula oleh kenyataan bahwa dalam
gerakan mahasiswa inilah terdapat pahlawan-pahlawan damai yang dalam
kegiatan pengabdiannya terutama didorong oleh aspirasi-aspirasi murni
dan semangat yang ikhlas.
Kelompok
ini bukan saja haus edukasi, akan tetapi berhasrat sekali untuk
meneruskan dan menerapkan segera hasil edukasinya itu, sehingga pada
gilirannya mereka itu sendiri berfungsi sebagai edukator-edukator dengan
cara-caranya yang khas.
Masa
selama studi di kampus merupakan sarana penempaan diri yang telah
merubah pikiran, sikap, dan persepsi mereka dalam merumuskan kembali
masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya. Berhentinya suatu ideologi
dalam memecahkan masalah yang terjadi, merangsang mahasiswa untuk
mencari alternatif ideologi lain yang secara empiris dianggap berhasil.
Maka tak jarang, kajian-kajian kritis yang kerap dilakukan lewat
pengujian terhadap pendekatan ideologi atau metodologis tertentu yang
diminati. Tatkala, mereka menemukan kebijakan publik yang dilansir
penguasa tidak sepenuhnya akomodatif dengan keinginan rakyat kebanyakan,
bagi mahasiswa yang committed dengan mata hatinya, mereka akan merasa
"terpanggil" sehingga terangsang untuk bergerak.Dalam kehidupan gerakan
mahasiswa terdapat jiwa patriotik yang dapat membius semangat juang
lebih radikal.
Mereka sedikit
pun takkan ragu dalam melaksanakan perjuangan melawan kekuatan tersebut.
Berbagai senjata ada di tangan mahasiswa dan bisa digunakan untuk
mendukung dalam melawan kekuasaan yang ada agar perjuangan maupun
pandangan-pandangan mereka dapat diterima. Senjata-senjata itu, antara
lain seperti petisi, unjuk rasa, boikot atau pemogokan, hingga mogok
makan. Dalam konteks perjuangan memakai senjata-senjata yang demikian
itu, perjuangan gerakan mahasiswa jika dibandingkan dengan intelektual
profesional, lebih punya keahlian dan efektif.
Oleh
karena itu, sejarah telah mencatat peranan yang amat besar yang
dilakukan gerakan mahasiswa selaku prime mover terjadinya perubahan
politik pada suatu negara. Secara empirik kekuatan mereka terbukti dalam
serangkaian peristiwa penggulingan, antara lain seperti : Juan Peron di
Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Soekarno
di Indonesia tahun 1966, Ayub Khan di Paksitan tahun 1969, Reza Pahlevi
di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand
Marcos di Filipinan tahun 1985, dan Soeharto di Indonesia tahun 1998.
Akan tetapi, walaupun sebagian besar peristiwa penggulingan kekuasaan
itu bukan menjadi monopoli gerakan mahasiswa sampai akhirnya tercipta
gerakan revolusioner. Namun, gerakan mahasiswa lewat aksi-aksi mereka
yang bersifat massif politis telah terbukti menjadi katalisator yang
sangat penting bagi penciptaan gerakan rakyat dalam menentang kekuasaan
tirani untuk mengubah kondisi menjadi lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar